Sejarah Desa Sendangagung

DSCN2326Kehidupan masyarakat Sendangagung masih kental dengan kehidupan pedesaan. Sawah yang menghampar luas merupakan bukti nyata bahwa kehidupan pertaniaan menjadi napas hidup penduduknya. Budaya jawa sebagai warisan nenek moyang masih melekat dalam kehidupan sosial. Tidak jarang masih ditemukan upacara tradisional seperti merti dusun dan kenduri. Budaya merti dusun dan kenduri tidaklah lepas dari perjalanan panjang sejarah tempat ini. Sebuah perjalanan yang melewati ruang dan waktu mengikuti ombak kehidupan yang meninggalkan jejak berupa tradisi dan benda-benda sebagai pengingat sejarah.

 

Masa Kerajaan Hindu-Budha

Kehidupan dan budaya di daerah Sendangagung disinyalir sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha. Hal ini bisa dilihat dari dua hal yaitu sumber lisan dan benda yang dapat menjadi sedikit bukti jejak-jejak keberadaannya. Pertama, nama cerita turun-temurun nama-nama dusun masih erat kaitannya dengan tokoh pada masa kerajaan Hindu-Budha. Dari tuturan yang sudah berlangsung secara turun-temurun nama-nama tokoh cikal bakal di daerah Sendangagung merupakan tokoh masa kerajaan Hindu Budha. Ada beberapa dusun yang nama pendirinya atau tokoh cikal bakal diyakini tokoh yang hidup masa kerajaan Hindu-Budha.  Kyai Jombor adalah cikal bakal Padukuhan Jomboran, Kyai Babad cikal bakal Padukuhan Babadan, Kyai Kelir cikal bakal Padukuhan Kliran, dan Kyai Braja cikal bakal Padukuhan Brajan merupakan tokoh yang konon merupakan prajurit Kerajaan Majapahit. Tokoh-tokoh ini berkelana ke arah barat dan hidup menetap di daerah yang sekarang ini menjadi wilayah Desa Sendangagung.

Kedua, adanya benda-benda yang bercorak kerajaan Hindu-Budha ditemukan di daerah Sendangagung. Patung yang pertama masih dapat dijumpai keberadaannya di daerah Mbeji yang terletak di Dusun Diro. Dilihat dari coraknya, arca ini diyakini merupakan peninggalan peradapan masa Hindu-Budha. Arca atau patung dalam kondisi tidak terawat dan kondisinya terjepit oleh akar. Menurut cerita yang sudah berlangsung turun temurun, tempat keberadaan patung dulunya adalah kerajaan kecil. Cerita yang berkembang dulunya kerajaan tersebut yang bernama Mandiro. Sebagi pengenang tempat itu maka nama dusunnya diberi nama Diro.

Screenshot_33

Patung yang terjepit akar

Arca kedua ditemukan di daerah Plombangan yang termasuk wilayah Dusun Brajan. Arca terbuat dari batu dan berbentuk orang bersila. Sayang tangannya patung sudah tidak utuh dan warga sekitar menyebut “Reco Buntung”. Patung itu dulunya hanya tergeletak dan tidak terawat. Penduduk di sekitar patung berada mengkeramatkan patung. Namun sayang, keberadaan patung sudah tidak ada karena diambil oleh orang yang hanya mencari keuntungan diri.

Screenshot_28

Gambar ini hanyalah ilustrasi patung yang ditemukan di Dusun Plombangan.  Diperkirakan bentuk patung seperti ini, namun keadaan tangan sudah putus.

Arca ketiga terdapat di Dusun Watugajah. Penduduk di daerah tersebut memberi patung dengan sebutan “Watugajah” yang artinya batu berbentuk gajah. Jika dilihat dengan seksama patung tersebut adalah  Ganesa yang merupakan dewa pengetahuan dalam kepercayaan Hindu. Seribu sayang, arca ini telah hilang dari tempatnya karena diambil oleh orang yang kurang bertanggung jawab. Sebagai pengingat dusun tempat arca tersebut berada diberi nama “Dusun Watugajah” Hanya saja generasi Dusun Watu Gajah yang kurang paham akan sejarah dusunnya mengira bahwa Watu Gajah terdiri dari dua benda batu dan gajah. Patung Gajah ini dipajang di genteng pos ronda Dusun Watu Gajah. Sah-sah saja masyarakat membuat simbol tersebut, namun kalau didalami tidak ada dasar yang kuat untuk membuat simbol tersebut.

Screenshot_32

Gambar 1 adalah perkiraan bentuk patung yang dulunya ditemukan. Gambar 2 adalah simbol gajah yang dibuat oleh warga Dusun Watugajah

Masa Kerajaan Islam

Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam daerah ini dihuni oleh orang ‘Kalang”. Kalang adalah sekelompok bangsawan kerajaan yang tidak diperkenankan untuk ikut dalam birokrasi di pemerintahan kerajaan. Artinya kaum bangsawan ini tidak menjadi punggawa kerajaan tetapi menjadi tokoh tokoh yang hidup di daerah pedusunan.

Keberadaan kelompok “Kalang” adalah kelompok priyayi-priyayi yang mendiami beberapa dusun di daerah sekitar Minggir. Hanya saja keberadaan kaum “Kalang” ini diawasi keberadaanya oleh para pejabat kerajaan. Keberadaan kaum “Kalang”ini bisa ditelusuri berdasarkan nama-nama dusun seperti Tengahan, Bekelan, dan Pojok. Bekelan ini berarti Bekel yang merupakan priyayi yang memerintah di daerah pedusunan.

Masa Kolonial

Dalam masa perang Diponegoro (1825-1830) daerah Sendangagung merupakan daerah yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk memantau pergerakan Laskar Diponegoro yang bermarkas di Dekso. Bukti ini dapat ditelusuri dengan adanya nama Beteng yang merupakan salah satu nama tempat di Padukuhan Minggir. Daerah ini merupakan tempat benteng pertahanan Belanda untuk menyerang keberadaan Pangeran Diponegoro yang berada di seberang Sungai Progo yaitu Dekso. Benteng (beteng dalam Bahasa Jawa) merupakan pertahanan yang terbuat dari kayu kelapa yang dibentuk menjadi benteng pertahanan tentara Belanda yang dibantu oleh beberapa prajurit Kerajaan Yogyakarta.

Pada tahun 1870-1890 daerah ini terdapat tiga kelurahan yaitu Minggir, Keliran, dan Nanggulan. Pada masa ini daerah sekitar Kelurahan Keliran terdapat perkebunan nila. Nilai atau sering disebut indigo atau dalam Bahasa Sunda disebut dengan tarum merupakan bahan untuk mewarnai pakaian. Hasil dari nila ini dikirim ke dermaga Semarang atau Cilacap untuk dikirim ke Belanda atau negara-negara eropa lainnya. Bukti peninggalan pada masa ini adalah sebuah tempat di sebelah timur Jembatan Kreo. Peninggalan berupa pondasi-pondasi bangunan yang dulunya merupakan bangunan pabrik perwarnaan pakaian atau wedelan dalam Bahasa Jawanya. Di sebelah barat Pabrik Wedelan terdapat pancuran yang dibangun oleh Belanda dibangun sebuah permandian yang diberi nama “Pasiraman Umbul Temanten”.

peta indigo

Peta Perkebunan Perkebunan Nila di Daerah Kelurahan Keliran dan sekitarnya.

WhatsApp Image 2020-05-19 at 10.05.50

Prasasti Pasiraman Umbul Temanten yang sekarang disimpan oleh salah satu warga di Padukuhan Keliran

 

Kelurahan Minggir, Keliran, dan Nanggulan menurut Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1916 (Rijksblaad Van Djogyakarta No.11 bestuur Mataraman, Reorganisatie Vanhet Indlandsch der regenttschappen Sleman, Bantoel en Kalasan Pranatan Ven den Rijksbestuur der van 15 Mei 1916) masuk dalam wilayah Onderdistrik Minggir masuk dalam Distrik Djoemeneng.

Pada awal tahun 1920-an, pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah perkebunan atau dalam catatan sejarah disebut dengan Suikeronderneming Kebonagung yang dimiliki oleh perusahaan Koloniaal Bank yang berpusat di Surabaya. Perkebunan ini menghasilkan tebu yang kemudian diolah menjadi gula di Pabrik Gula Sendangpitu yang berada di Sendangrejo. Nama perkebunan inilah yang menjadikan daerah Sendangagung lebih dikenal dengan nama Kebonagung.

Berdasar Rijksblad Kasultanan Nomor 1/1927, Kabupaten Sleman dihilangkan sehingga wilayah Onderdistrik Minggir yang termasuk dalam wilayah Kawedanan Godean menjadi bagian dari Kabupaten Yogyakarta. Pada tahun 1942, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengadakan reorganisasi dengan mengeluarkan Jogjakarta Kooti, yang menjadikan wilayah Onderdistrik Minggir yang di dalam terdapat tiga kelurah  berubah menjadi wilayah Kabupaten Bantul.

Terbentuknya Desa Sendangagung

Pada 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kembali melakukan reorganisasi pemerintahan dengan mengeluarkan Jogjakarta Koorei No.2, yang menjadikan wilayah Kapanewon Pangreh Projo Minggir yang merupakan bagian Kawedanan Godean berubah dari wilayah Kabupaten Bantul kembali menjadi wilayah Kabupaten Sleman.

Pada tahun 1946 terjadi blengketan atau penggabungan tiga kelurahan yaitu Minggir, Keliran, dan Nanggulan membentuk kelurahan baru yang diberi nama Desa Sendangagung. Blengketan ini dikukuhkan dengan Maklumat Kasultanan Yogyakarta No.5 Tahun 1948.

Leave a comment