Kisah Nyata

SAHABAT SEJATI

“Mur, bangun. Hari sudah siang,” suara ibu membangunkanku. Rasanya malas sekali untuk meninggalkan bantal ini. Kukucek mataku, ternyata hari sudah beranjak siang. “Hari Minggu, saya tidak sekolah. Mengapa aku harus bangun sekarang?” gumanku dalam hati. Tetapi aku tidak berani melawan ibuku. Segera aku bangun dan langsung ke sumur untuk membasuh muka. Wah, ternyata ibu sudah pulang dari pasar dan membelikan sarapan. Bubur buatan Mbah Sowi makanan khas kampung yang sangat aku suka. Tanpa basa-basi bubur yang dibungkus dengan daun pisang itu sudah habis.

“Mur cilik, Mur Cilik. Ayo cari kayu bakar!” suara temanku memanggil. “Tunggu sebentar, aku baru selesai sarapan,” jawabku sambil membereskan bungkus bubur. Aku keluar dengan membawa parang sebagai peralatan mencari kayu bakar. Ternyata yang memanggil adalah Muryono. Dia selalu memanggilku dengan sebutan “Mur Cilik” karena umurku lebih muda.  Namaku dan namanya memang hampir sama. Namaku Murgiyanto sedang namanya Muryono. Orang-orang menyebut Muryono dengan sebutan “Mur Gede”. Sungguh aneh, nama yang hampir sama dapat bersahabat karib meskipun terpaut umur tiga tahun.

“Kamu sudah siap belum?” tanya Muryono sambil menatap tajam ke wajahku. Tatapan tajam yang tak pernah kulupakan. Tatapan itu sungguh merupakan bahasa isyarat. Tersimpan kasih dan perlindungan kepada seorang sahabat. “Ya, ayo kita segera berangkat” jawabku sambil mengikuti langkahnya. Seperti biasa kami mencari kayu bakar di kebun yang terletak tepi sungai Progo. Di sepanjang  sungai banyak terdapat pohon besar. Anak-anak kampung biasa mengambil ranting-ranting kering yang sudah terjatuh dari pohonnya.

Kami berdua menuju pinggir sungai melewati jalan yang curam. Sebagai teman yang bertanggung jawab, Muryono berjalan di depan. Aku mengikuti dari belakang sambil mengikuti arahannya. Meskipun jalanan terjal dan berbahaya, sesekali kami bersendau gurau. Yang kami hindari adalah daun bambu yang kering. Daun bambu bisa membuat terpeleset karena daun itu licin jika diinjak. Sampailah kami melewati jalan yang sulit dan berbatu. Muryono berjalan terlebih dahulu dengan menuruni jalan berbatu. “Hati-hati!” ucapku sambil menatap langkahnya. Aku yakin dia pasti bisa melewati karena Muryono dikenal sebagai orang yang cekatan. Aku kaget, sepertinya ada yang mendorong dari belakang. Aku jatuh di jalanan terjal itu. “Tolong!” teriakku sekencang-kencangnya.

Aku takut sekali. Tapi anehnya posisiku bisa terlipat dan membentuk lingkaran. Dengan posisi itu aku terguling dan berputar-putar. Untunglah badanku menabrak serumpun bambu. Kalau tidak mengenai serumpun bambu itu, badanku terjatuh ke jurang yang curam dan bawahnya berbatu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, jika tubuhku benar-benar jatuh ke jurang itu. Aku masih sadar dan kupegangi tubuhku. Tidak ada yang terluka sedikitpun, hanya jari tengah kananku yang terkilir. Aku duduk termangu sambil berucap syukur kepada Tuhan atas perlindungannya.

“Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Muryono yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku. “Tidak apa-apa, hanya jari yang terkilir.”jawabku sambil memegang jari. Kupandangi seluruh tubuh Muryono. Ternyata tangan dan kakinya penuh dengan berdarah. Aku baru tersadar, ketika aku jatuh dia berusaha keras untuk menolongku. Usaha itulah yang membuatnya terluka. Aku sangat terharu dengan peristiwa itu. Semakin aku menghormatinya. Temanku sungguh sangat baik sekali. Dia tidak mempedulikan badannya sendiri demi menolongku yang ia anggap sebagai teman.

“Tangan dan kakimu berdarah, kamu sakit ya?” tanyaku dengan suara lirih. “Sudah, tidak apa-apa kok. Kita cari pucuk daun petai cina untuk mengobati luka-luka ini,” katanya dengan suara mantap. Tanganya terulur untuk mengajakku berdiri. Kami segera mencari parang yang terpental. Usaha itu tidak terlalu lama dan parang segera ketemu. Kebetulan sekali tidak jauh dari tempat itu terdapat pohon petai cina. Kami berdua memetik pucuk daunnya. Muryono menguyah daun dan ditempelkan ke luka-luka di tangan kakinya. Kami segera mencari kayu bakar meskipun sebenarnya jariku terasa sakit sekali.

Akhirnya terkumpul kayu bakar dan kami bawa pulang dengan membawa cerita kenangan yang tak pernah kulupakan. Sebuah peristiwa yang selalu mengusik perasaanku. Pengalaman kecil dalam perjalanan hidup namun sarat dengan makna. Dari mulutnya tidak pernah terucap pengorbanan, kesetian, dan kata-kata lain tentang nilai-nilai hidup. Dari tindakan-tindakannya aku mengerti bahwa dia sangat setia dan berkurban untuk sebuah persahabatan.