Gethek Progo Tempo Dulu

Transportasi ini menjadi salah satu nostalgia yang sangat berkesan bagi masyarakat di sekitaran Sungai Progo. Sebuah kendaraan sederhana yang mampu hanya memindahkan orang yang berjarak hanya sekitar 5 meter sampai dengan 10 meter. Alat transportasi yang hanya memindahkan orang dengan jarak terpendek di dunia. Bandingkan dengan alat trasportasi yang lain yang mampu memindahkan dengan jarak belasan kilometer sampai puluhan kilometer bahkan sampai ratusan kilometer. Sederhana namun sangat istimewa untuk dikenang. Dalam kesederhanaan mampu membangkitkan kenangan dalam salah satu sisi perjalanan hidup orang yang pernah naik gethek.

Bagian-bagian Gethek

Gethek terdiri dua bagian yaitu kayu yang dalam istilah Jawa disebut “tlawah” dan bambu. Tlawah biasanya terbuat dari kayu randu alas, kayu kembang kenanga, atau sengon laut. Ketiga kayu tersebut dipilih karena sifatnya yang ringan. Setelah ditebang kayu dibuat menjadi seperti perahu. Tlawah ada dua bagian yang dipasang di pinggir sebelah kanan dan sebelah kiri. Satang yang terbuat dari bambu berfungsi untuk mengarahkan gerak gethek. Biasanya bagian bawah satang dipasang kayu supaya tidak cepat rusak ketika kena batu atau padas yang ada di sungai. Dadung atau tali berfungsi untuk mengikat gethek dengan pohon atau batu agar tidak hanyut terseret arus sungai.

Gethek yang ada di Sungai Progo

Gethek di Sungai Progo berda di beberapa tempat. Keberadaan gethek ini antara lain :

  1. Gethek Sayangan berada di Dusun Kisik, Sendangagung, kecamatan Minggir. Konon, gethek ini pada masa perang Diponegoro berfungsi sebagai alat trasportasi untuk menyeberangkan orang dan logistik perang.
  2. Gethek Kreo yang berada di dusun Kliran, Sendangangung, Kecamatan Minggir. Gethek ini adalah gethek yang paling banyak digunakan untuk penyeberangan dibanding gethek yang lain. pada masa perang kemerdekaan gethek ini berjasa untuk menyeberangkan Tentara Rakyat Indonesia dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beberapa pengemudi (tukang perahu atau tukang satang) diberi pernghargaan sebagai Legiun Veteran Indonesia atas jasanya yang telah membantu tentara dalam perang.
  3. Gethek Maken yang berada di Dusun Semaken, Desa Banjararum, Kecamatan Kalibawang. Keistimewaan gethek ini adalah tukang satang atau tukang perahunya yang paling berani. Ketika air sungai pasang dan berarus besar sehabis hujan lebat gethek ini yang berani menyeberangkan penumpang sementara gethek yang lain tidak berani menyeberangkan penumpang.
  4. Gethek Wiyu yang berada di dusun Ngrojo, Desa Kembangan, Kecamatan Nanggulan. Berbeda dengan gethek yang lain, gethek wiyu hanya memiliki satu tlawah yang terletak ditengah, sedang bagian kanan dan kiri gethek terdapat bambu yang dapat menyeimbangkan gethek.
  5. Gethek Ngapak, berada di Dusun Ngapak, Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan. Gethek ini merupakan gethek yang paling awal tidak beroperasi karena di tempat ini dibangun jembatan.
  6. Gethek Sejati, terdapat di Dusun Sejati Trukan, Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan.

Mitos Mengenai Gethek

Cerita mistis mengenai gethek selalu menghiasi cerita pada masanya. Percaya atau tidak percaya tergantung pada yang mendengarkan cerita. Percaya tidak dilarang sedangkan bagi yang tidak percaya juga bukan menjadi soal. Mitos ini terjadi ketika menyeret tlawah dari tempat penebangan kayu sampai ke sungai. Biasanya setelah ditebang, pohon dibuat menjadi tlawah di tempat di mana pohon itu ditebang. Setelah selesai proses pembuatan tlawah, maka tlawah akan dibawa ke sungai dengan cara diseret. Sebelum diseret diadakan ritual berupa kenduri untuk meminta keselamatan. Yang menjadi aneh adalah orang yang menyeret kayu tlawah merasakan ringan meskipun menyeret kayu yang berukuran besar. Tidak satupun yang merasa keberatan, ketika menyeret kayu tlawah semuua orang yang mentyeret meraskan ringan. Setelah sampai di sungai akan diadakan kenduri, semua orang lahap makan nasi seberapa pun jumlahnya. tidak merasa kenyang dan perut rasanya masih lapar meskipun nasi yang dimakan sangat banyak.

Tinggal Kenangan

Kini keberadaan gethek tinggak kenangan. bagi yang lahir di atas tahun 90-an sudah tidak mengenal alat transportasi ini. Alat transportasi ini ditinggalkan karena di atas sungai sudah dibangun beberapa jembatan. keberadaanmu menjadi salah satu pengisi cerita bagi orang yang pernah menggunakan jasa transportasi ini. Tinggal beberapa orang saja yang dulunya tukang perahu atau tukang satang yang masih hidup. Tukang satang, jasamu selalu menjadi kenangan.

Sejarah Desa Sendangagung

DSCN2326Kehidupan masyarakat Sendangagung masih kental dengan kehidupan pedesaan. Sawah yang menghampar luas merupakan bukti nyata bahwa kehidupan pertaniaan menjadi napas hidup penduduknya. Budaya jawa sebagai warisan nenek moyang masih melekat dalam kehidupan sosial. Tidak jarang masih ditemukan upacara tradisional seperti merti dusun dan kenduri. Budaya merti dusun dan kenduri tidaklah lepas dari perjalanan panjang sejarah tempat ini. Sebuah perjalanan yang melewati ruang dan waktu mengikuti ombak kehidupan yang meninggalkan jejak berupa tradisi dan benda-benda sebagai pengingat sejarah.

 

Masa Kerajaan Hindu-Budha

Kehidupan dan budaya di daerah Sendangagung disinyalir sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Budha. Hal ini bisa dilihat dari dua hal yaitu sumber lisan dan benda yang dapat menjadi sedikit bukti jejak-jejak keberadaannya. Pertama, nama cerita turun-temurun nama-nama dusun masih erat kaitannya dengan tokoh pada masa kerajaan Hindu-Budha. Dari tuturan yang sudah berlangsung secara turun-temurun nama-nama tokoh cikal bakal di daerah Sendangagung merupakan tokoh masa kerajaan Hindu Budha. Ada beberapa dusun yang nama pendirinya atau tokoh cikal bakal diyakini tokoh yang hidup masa kerajaan Hindu-Budha.  Kyai Jombor adalah cikal bakal Padukuhan Jomboran, Kyai Babad cikal bakal Padukuhan Babadan, Kyai Kelir cikal bakal Padukuhan Kliran, dan Kyai Braja cikal bakal Padukuhan Brajan merupakan tokoh yang konon merupakan prajurit Kerajaan Majapahit. Tokoh-tokoh ini berkelana ke arah barat dan hidup menetap di daerah yang sekarang ini menjadi wilayah Desa Sendangagung.

Kedua, adanya benda-benda yang bercorak kerajaan Hindu-Budha ditemukan di daerah Sendangagung. Patung yang pertama masih dapat dijumpai keberadaannya di daerah Mbeji yang terletak di Dusun Diro. Dilihat dari coraknya, arca ini diyakini merupakan peninggalan peradapan masa Hindu-Budha. Arca atau patung dalam kondisi tidak terawat dan kondisinya terjepit oleh akar. Menurut cerita yang sudah berlangsung turun temurun, tempat keberadaan patung dulunya adalah kerajaan kecil. Cerita yang berkembang dulunya kerajaan tersebut yang bernama Mandiro. Sebagi pengenang tempat itu maka nama dusunnya diberi nama Diro.

Screenshot_33

Patung yang terjepit akar

Arca kedua ditemukan di daerah Plombangan yang termasuk wilayah Dusun Brajan. Arca terbuat dari batu dan berbentuk orang bersila. Sayang tangannya patung sudah tidak utuh dan warga sekitar menyebut “Reco Buntung”. Patung itu dulunya hanya tergeletak dan tidak terawat. Penduduk di sekitar patung berada mengkeramatkan patung. Namun sayang, keberadaan patung sudah tidak ada karena diambil oleh orang yang hanya mencari keuntungan diri.

Screenshot_28

Gambar ini hanyalah ilustrasi patung yang ditemukan di Dusun Plombangan.  Diperkirakan bentuk patung seperti ini, namun keadaan tangan sudah putus.

Arca ketiga terdapat di Dusun Watugajah. Penduduk di daerah tersebut memberi patung dengan sebutan “Watugajah” yang artinya batu berbentuk gajah. Jika dilihat dengan seksama patung tersebut adalah  Ganesa yang merupakan dewa pengetahuan dalam kepercayaan Hindu. Seribu sayang, arca ini telah hilang dari tempatnya karena diambil oleh orang yang kurang bertanggung jawab. Sebagai pengingat dusun tempat arca tersebut berada diberi nama “Dusun Watugajah” Hanya saja generasi Dusun Watu Gajah yang kurang paham akan sejarah dusunnya mengira bahwa Watu Gajah terdiri dari dua benda batu dan gajah. Patung Gajah ini dipajang di genteng pos ronda Dusun Watu Gajah. Sah-sah saja masyarakat membuat simbol tersebut, namun kalau didalami tidak ada dasar yang kuat untuk membuat simbol tersebut.

Screenshot_32

Gambar 1 adalah perkiraan bentuk patung yang dulunya ditemukan. Gambar 2 adalah simbol gajah yang dibuat oleh warga Dusun Watugajah

Masa Kerajaan Islam

Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam daerah ini dihuni oleh orang ‘Kalang”. Kalang adalah sekelompok bangsawan kerajaan yang tidak diperkenankan untuk ikut dalam birokrasi di pemerintahan kerajaan. Artinya kaum bangsawan ini tidak menjadi punggawa kerajaan tetapi menjadi tokoh tokoh yang hidup di daerah pedusunan.

Keberadaan kelompok “Kalang” adalah kelompok priyayi-priyayi yang mendiami beberapa dusun di daerah sekitar Minggir. Hanya saja keberadaan kaum “Kalang” ini diawasi keberadaanya oleh para pejabat kerajaan. Keberadaan kaum “Kalang”ini bisa ditelusuri berdasarkan nama-nama dusun seperti Tengahan, Bekelan, dan Pojok. Bekelan ini berarti Bekel yang merupakan priyayi yang memerintah di daerah pedusunan.

Masa Kolonial

Dalam masa perang Diponegoro (1825-1830) daerah Sendangagung merupakan daerah yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk memantau pergerakan Laskar Diponegoro yang bermarkas di Dekso. Bukti ini dapat ditelusuri dengan adanya nama Beteng yang merupakan salah satu nama tempat di Padukuhan Minggir. Daerah ini merupakan tempat benteng pertahanan Belanda untuk menyerang keberadaan Pangeran Diponegoro yang berada di seberang Sungai Progo yaitu Dekso. Benteng (beteng dalam Bahasa Jawa) merupakan pertahanan yang terbuat dari kayu kelapa yang dibentuk menjadi benteng pertahanan tentara Belanda yang dibantu oleh beberapa prajurit Kerajaan Yogyakarta.

Pada tahun 1870-1890 daerah ini terdapat tiga kelurahan yaitu Minggir, Keliran, dan Nanggulan. Pada masa ini daerah sekitar Kelurahan Keliran terdapat perkebunan nila. Nilai atau sering disebut indigo atau dalam Bahasa Sunda disebut dengan tarum merupakan bahan untuk mewarnai pakaian. Hasil dari nila ini dikirim ke dermaga Semarang atau Cilacap untuk dikirim ke Belanda atau negara-negara eropa lainnya. Bukti peninggalan pada masa ini adalah sebuah tempat di sebelah timur Jembatan Kreo. Peninggalan berupa pondasi-pondasi bangunan yang dulunya merupakan bangunan pabrik perwarnaan pakaian atau wedelan dalam Bahasa Jawanya. Di sebelah barat Pabrik Wedelan terdapat pancuran yang dibangun oleh Belanda dibangun sebuah permandian yang diberi nama “Pasiraman Umbul Temanten”.

peta indigo

Peta Perkebunan Perkebunan Nila di Daerah Kelurahan Keliran dan sekitarnya.

WhatsApp Image 2020-05-19 at 10.05.50

Prasasti Pasiraman Umbul Temanten yang sekarang disimpan oleh salah satu warga di Padukuhan Keliran

 

Kelurahan Minggir, Keliran, dan Nanggulan menurut Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1916 (Rijksblaad Van Djogyakarta No.11 bestuur Mataraman, Reorganisatie Vanhet Indlandsch der regenttschappen Sleman, Bantoel en Kalasan Pranatan Ven den Rijksbestuur der van 15 Mei 1916) masuk dalam wilayah Onderdistrik Minggir masuk dalam Distrik Djoemeneng.

Pada awal tahun 1920-an, pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah perkebunan atau dalam catatan sejarah disebut dengan Suikeronderneming Kebonagung yang dimiliki oleh perusahaan Koloniaal Bank yang berpusat di Surabaya. Perkebunan ini menghasilkan tebu yang kemudian diolah menjadi gula di Pabrik Gula Sendangpitu yang berada di Sendangrejo. Nama perkebunan inilah yang menjadikan daerah Sendangagung lebih dikenal dengan nama Kebonagung.

Berdasar Rijksblad Kasultanan Nomor 1/1927, Kabupaten Sleman dihilangkan sehingga wilayah Onderdistrik Minggir yang termasuk dalam wilayah Kawedanan Godean menjadi bagian dari Kabupaten Yogyakarta. Pada tahun 1942, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengadakan reorganisasi dengan mengeluarkan Jogjakarta Kooti, yang menjadikan wilayah Onderdistrik Minggir yang di dalam terdapat tiga kelurah  berubah menjadi wilayah Kabupaten Bantul.

Terbentuknya Desa Sendangagung

Pada 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kembali melakukan reorganisasi pemerintahan dengan mengeluarkan Jogjakarta Koorei No.2, yang menjadikan wilayah Kapanewon Pangreh Projo Minggir yang merupakan bagian Kawedanan Godean berubah dari wilayah Kabupaten Bantul kembali menjadi wilayah Kabupaten Sleman.

Pada tahun 1946 terjadi blengketan atau penggabungan tiga kelurahan yaitu Minggir, Keliran, dan Nanggulan membentuk kelurahan baru yang diberi nama Desa Sendangagung. Blengketan ini dikukuhkan dengan Maklumat Kasultanan Yogyakarta No.5 Tahun 1948.

Kedung Bedhil

Kedung Bedhil

Kedung Bedhil merupakan sebuah tempat yang sangat melegenda terutama bagi masyarakat Dusun Kliran di daerah kecamatan Minggir. Kedung Bedhil merupakan salah satu bagian dari aliran Sungai Progo.   Bagi masyarakat jawa pada umumnya, nama sebuah tempat dapat dipastikan memiliki latar cerita yang berkaitan dengan tempat tersebut. Kedung dalam Bahasa Jawa mempunyai arti bagian sungai yang dalam atau disebut juga lubuk. Bedhil nama lainnya adalah senjata berlaras panjang atau senapan. Lantas kenapa tempat ini dikenal dengan Kedung Bedhil. Menurut penuturan sesepuh Dusun Kliran,  di tepian sungai ini pada zaman perang kemerdekaan (1948) dipergunakan untuk latihan tentara berperang. Latihan perang berarti mempergunakan senjata laras panjang atau bedhil. Ditengarai karena sering terdengar bunyi senapan atau bedhil maka tempat ini diberi nama Kedung Bedhil.

Lantas mengapa tempat ini menyimpan berbagai cerita dari masyarakat sekitar. Padahal kalau ditilik dari tempatnya hanyalah hamparan pasir dan lubuk sungai yang dalamnya kira-kira 3 sampai 5 meter. Ternyata tempat ini menyimpan berbagai kisah masa lalu ketika masyarakat desa masih bersahabat dengan alam dan belum mengenal kemajuan teknologi. beberapa kenangan yang pernah mewarnai keberadaan tempat ini yang sudah ditinggalkan oleh saksi hidupnya.

Tradisi Baritan

Sebelum para petani  mengunakan traktor untuk menggarap sawah, dulu mereka menggunakan bajak untuk mengolah tanah. Hewan yang sangat berjasa bagi petani untuk membajak adalah kerbau dan sapi. Kerbau dan sapi merupakan salah satu kekayaan para petani atau sering disebut dengan istilah “Raja Kaya”. Hewan sapi dan kerbau milik warga biasanya dimandikan di Kedung Bedhil. Untuk mengucap syukur, para petani yang memiliki sapi atau kerbau setiap tahun mengucap syukur dengan mengadakan tradisi baritan. Prosesi upacara para petani mengalungi kerbau atau sapi dengan makanan sedekah seperti ketupat. Mereka berdoa agar diberi kelancaran dalam memelihara sapi atau kerbau. Selesai upacara, warga disekitar berebut makanan yang dikalungkan pada leher hewan ternak. Sekarang tradisi ini sudah tinggal cerita. Semenjak bajak diganti dengan traktor petani sudah jarang yang memelihara kerbau atau sapi untuk membajak. Kalaupun memelihara sapi, mereka cukup memandikan di rumah tidak perlu lagi ke sungai.

Pendadaran Ilmu Kanuragan

Konon tempat ini sering digunakan untuk pendadaran atau ujian bagi masyarakat yang belajar ilmu bela diri tradisional. Selain pencak silat, masyarakat jawa mengenal bela diri dengan menggunakan ajian. Mereka yang berguru dan sudah menyelesaikan syarat memiliki ajian biasanya diuji di Kedung Bedhil.

Tempat Bermain dan Berekreasi.

Bagi anak-anak kecil di Dusun Kliran, Kedung Bedhil merupakan surga untuk bermain. Hamparan pasir yang cukup luas merupakan sarana dan tempat bermain bagi anak. Aktifitas bermain merupakan saat yang ditunggu bagi anak-anak.

Kini hanya satu dua orang yang beraktifitas di Kedung Bedhil. Tempat ini sangat sepi dan banyak ular yang besar. Penduduk Dusun Kliran sudah jarang berkunjung ke Kedung Bedhil. Tempat ini bukan istimewa lagi. Hanya tinggal kenangan yang hanya milik dua tiga orang saja.

Mitos Pohon Sirsak Bagi Masyarakat Anyer

Sirsak

Pohon Sirsak  Sumber gambar Media Nusantara Blogspot

Mitos ini saya dengar dari seorang penjual pisang yang menjajakan barang dagangannya di Pantai Anyer.  Ketika saya mendengarkan penuturan bapak penjual pisang dalam hati saya berguman “aneh”. Bagaimana tidak aneh, mendengar kata sirsak orang akan mengaitkan manfaat daun sirsak bagi kesehatan. Di samping itu, belum pernah ada orang yang mengupas tentang mitos tumbuhan yang dikenal dengan nangka belanda ini.

Menurut penuturan bapak yang saya lupa menanyakan namanya, mitos ini hanya berlaku bagi masyarakat sekitar Pantai Anyer. Jika ada rumah yang terbakar maka usaha yang pertama dilakukan akan mencari pohon sirsak.  Pohon akan ditebang dan batangnya akan di lempar ke arah rumah yang terbakar. Masyarakat percaya bahwa setelah batang pohon dilempar, maka api mudah dipadamkan. Begitulah mitos yang berkembang di masyarakat sekitar Pantai Anyer.

“Begitu mudahnya Pak” kataku pada bapak penjual pisang. Dengan penuh kesabaran  melihat raut muka saya tidak percaya, bapak penjual pisang berupaya meyakinkan. “Ini adalah keyakinan, Dik!  Jika adik tidak percaya saya juga tidak mempermasalahkan. Keyakinan ini sudah turun-temurun dipercaya dan hanya berlaku bagi masyarakat sini,” tutur kata bapak si penjual pisang.

Saya mulai paham. Mitos ini tidak merugikan siapapun. Saya sangat menghargai bapak si penjual pisang yang merelakan waktunya untuk menarasikan kepercayaan leluhurnya. Sebuah kearifan lokal yang sudah ada nenek moyang. Penghormatan terhadap kearifan lokal adalah wujud dari menghargai dari negeri ini dengan segala keanekaragamannya, termasuk peninggalan leluhur. Saya yakin, melempar pohon sirsak bukanlah perbuatan nista namun sebuah sugesti agar api cepat padam. Dengan sugesti yang kuat harapan agar api cepat padam dan penghuninya selamat bukanlah hal yang buruk. Bukan sebuah tindakan yang menjauhkan diri dengan Sang Pencipta alam semesta ini.

Kecamatan Minggir


Kantor Kecamatan Minggir

Kantor Kecamatan Minggir

Wilayah yang paling barat di kabupaten Sleman adalah Kecamatan Minggir. Wilayah yang akrab dengan suasana pedesaan lengkap dengan panorama persawahan yang tampak menghijau. Sebuah wilayah yang berada di tepi Sungai Progo yang merupakan sungai terbesar di wilayah Yogyakarta. Secara adminstratif Kecamatan Minggir masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Asal-usul Nama Minggir

Nama Minggir sendiri berasal dari salah satu padukuhan yang bernama Minggir. Ada dua versi yang menyebutkan asal-usul nama Minggir. Versi pertama berkembang cerita di  kalangan masyarakat Padukuhan Minggir menyebutkan bahwa nama Minggir berasal dari tokoh cikal bakal padukuhan Minggir yaitu Kyai Mindil. Dikisahkan, seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Kyai Mindil bertempat tinggal di tempat ini. Sampai wafatnya Kyai Mindil disemayamkan di padukuhan ini. Dari kata “Mindil” inilah lama-kelaman orang menyebut kata “Minggir” sebagai nama dusun. Dari dua versi asal nama Minggir inilah belum ada kajian secara ilmiah yang meneliti lebih dalam tentang asal-usul nama Minggir.

Versi yang kedua, nama Minggir digunakan di daerah ini karena letaknya yang merupakan di paling pinggir sebelum menemukan Sungai Progo sebagai pembatas wilayah. Dari letak geografis inilah maka kata “Pinggir” kemudian dikenal dengan kata “Minggir” untuk menamai tempat ini.

Sejarah

Keberadaan daerah Minggir disinyalir ketika zaman Majapahit. Hanya saja pada waktu itu daerah ini belum dikenal dengan nama Minggir. Keberadaan Minggir mulai daerah ketika zaman Majapahit dapat ditilik dari nama tokoh cikal bakal beberapa dusun dan benda-benda peninggalan sejarah. Dari cerita turun-temurun nama-nama tokoh cikal bakal di daerah Sendangagung merupakan pelarian prajurit Majapahit. Berapa  tokoh cikal bakal yang sampai hari ini masih terawat makamnya adalah Kyai Jombor cikal bakal Padukuhan Jomboran, Kyai Babad cikal bakal Padukuhan Babadan, Kyai Kelir cikal bakal Padukuhan Kliran, dan Kyai Braja cikal bakal Padukuhan Brajan.

Bukti bahwa daerah Minggir sudah ada sejak zaman Majapahit adalah adanya beberapa peninggalan sejarah yang bercorak Hindu. Salah satu peninggalan adalah arca di Padukuhan Diro yang sampai sekarang bisa ditemui keberadaanya. Menurut kisah turun-temurun, daerah ini merupakan tempat pesanggrahan Kyai Tunggul Wulung yang tidak lain adalah Senopati Sabdojati Amongrogo seorang pelarian hulu balang Majapahit. Peninggalan yang lain adalah adanya patung Ganesha di daerah padukuhan Watugajah yang sekarang keberadaanya sudah disimpan di Dinas Purbakala.

Pada awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam daerah ini dihuni oleh orang ‘Kalang”. Kalang adalah sekelompok bangsawan kerajaan yang tidak diperkenankan untuk ikut dalam birokrasi di pemerintahan kerajaan. Keberadaan kelompok “Kalang” adalah kelompok priyayi-priyayi yang mendiami beberapa dusun di daerah sekitar Minggir. Hanya saja keberadaan kaum “Kalang” ini diawasi keberadaanya oleh para pejabat kerajaan. Keberadaan kaum “Kalang”ini bisa ditelusuri berdasarkan nama-nama dusun seperti Tengahan dan Pojok.

Menginjak pada masa perang Diponegoro daerah Minggir merupakan daerah yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk memantau pergerakan Laskar Diponegoro yang bermarkas di Dekso. Bukti ini dapat ditelusuri dengan adanya nama Beteng yang merupakan salah satu nama tempat di Padukuhan Minggir. Daerah ini merupakan tempat benteng pertahanan Belanda untuk menyerang keberadaan Pangeran Diponegoro yang berada di seberang Sungai Progo yaitu Dekso.

Wilayah Kecamatan Minggir menurut Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomor 11 Tahun 1916 (Rijksblaad Van Djogyakarta No.11 bestuur Mataraman, Reorganisatie Vanhet Indlandsch der regenttschappen Sleman, Bantoel en Kalasan Pranatan Ven den Rijksbestuur der van 15 Mei 1916) masuk dalam wilayah Onderdistrik Minggir masuk dalam Distrik Djoemeneng.

Pada awal tahun 1920-an, pemerintah Kolonial Belanda membangun sebuah perkebunan atau dalam catatan sejarah disebut dengan Suikeronderneming Kebonagung yang dimiliki oleh perusahaan Koloniaal Bank yang berpusat di Surabaya. Perkebunan ini menghasilkan tebu yang kemudian diolah menjadi gula di Pabrik Gula Sendangpitu yang berada di Sendangrejo.

Berdasar Rijksblad Kasultanan Nomor 1/1927, Kabupaten Sleman dihilangkan sehingga wilayah Onderdistrik Minggir yang termasuk dalam wilayah Kawedanan Godean menjadi bagian dari Kabupaten Yogyakarta. Pada tahun 1942, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengadakan reorganisasi dengan mengeluarkan Jogjakarta Kooti, yang menjadikan wilayah Onderdistrik Minggir berubah menjadi wilayah Kabupaten Bantul.

Pada 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kembali melakukan reorganisasi pemerintahan dengan mengeluarkan Jogjakarta Koorei No.2, yang menjadikan wilayah Kapanewon Pangreh Projo Minggir yang merupakan bagian Kawedanan Godean berubah dari wilayah Kabupaten Bantul kembali menjadi wilayah Kabupaten Sleman.

Kapanewon Minggir saat itu dikepalai oleh seorang Panewu (Camat), membawahi beberapa kalurahan yakni Daratan, Ngijon, Kwayuhan, Tibajonggrangan, Prapak, Minggir, Kliran, Nanggulan, Parakan, Dalangan, Jetisdepok, Nyangkringan, Nglengking, dan Tobayan.  Melalui Maklumat Kasultanan Yogyakarta No.5 Tahun 1948, maka beberapa kelurahan saling bergabung menjadi 5 kalurahan definitif.

Berikut data penggabungan beberapa kalurahan di wilayah Kecamatan Minggir  :

  1. Sendangarum : Gabungan dari Daratan dan Ngijon
  2. Sendangmulyo : Gabungan dari Kwayuhan, Tibajonggrangan, dan Prapak
  3. Sendangagung : Gabungan dari Minggir, Kliran, dan Nanggulan
  4. Sendangsari : Gabungan dari Parakan, Dalangan,  dan Jetisdepok
  5. Sendangrejo : Gabungan dari Nyakringan, Nglengking, dan Tobayan

Geografis

Luas Kecamatan Minggir adalah 2.727 Ha yang terdiri dari wilayah  pemukiman, persawahan, dan tegalan. Sebagian besar wilayah Minggir merupakan area persawahan yang sangat luas. Dengan pengairan yang cukup maka Minggir merupkan wilayah penghasil padi yang menjadi andalan di kabupaten Sleman.

Di sebelah utara dan barat wilayah Kecamatan Minggir dilalui aliran Sungai Progo. Dengan kondisi ini maka di wilayah bagian utara dan barat banyak dijumpai pasir dan tebing yang merupakan bagian dari daerah aliran sungai.

Batas-batas wilayah Minggir adalah :

Utara   : Kecamatan Tempel, Kapubaten Kulon Progo

Timur   : Kecamatan Seyegan, Kecamatan Godean

Selatan : Kecamatan Moyudan, Kabupaten Kulon Progo

Barat   : Kabupaten Kulon Progo

Wilayah Adminidtratif

Kecamatan Minggir terdiri dari 5 wilayah desa dan 69 wilayah padukuhan. Pembagian wilayah administratif desa adalah :

  1. Sendangagung
  2. Sendangmulyo
  3. Sendangsari
  4. Sendangrejo
  5. Sendangarum

Wilayah padukuhan yang menjadi wilayah administratif  Kecamatan Minggir :

Sendangagung

  1. Kisik
  2. Minggir II
  3. Minggir III
  4. Babadan
  5. Pojok V
  6. Watugajah
  7. Bontitan
  8. Brajan
  9. Kliran
  10. Bekelan
  11. Tengahan XI
  12. Tengahan XII
  13. Dukuhan
  14. Nanggulan
  15. Jomboran

Sendangmulyo

  1. Prapak Kulon
  2. Mergan
  3. Prapak Wetan
  4. Sembuhan Kidul
  5. Sembuhan Lor
  6. Sumber
  7. Slarongan
  8. Blimbingan
  9. Dondongan
  10. Klepu Kidul
  11. Klepu Lor
  12. Jetis
  13. Kwayuhan
  14. Krompakan
  15. Sragen Banaran
  16. Diro

Sendangsari

  1. Pranan
  2. Jetis Depok
  3. Jogorejo
  4. Badran Kidul
  5. Balangan
  6. Plembon
  7. Bandan
  8. Parakan Kulon
  9. Parakan Wetan
  10. Gatak
  11. Sutan
  12. Denokan

Sendangrejo

  1. Jonggrangan
  2. Ngepringan II
  3. Nyangkringan
  4. Ngepringan IV
  5. Sunggingan
  6. Kedungprahu
  7. Nglengking
  8. Butuhan
  9. Botokan
  10. Jaten
  11. Sidomulyo
  12. Tobayan
  13. Padon
  14. Ngaranan
  15. Ngagul Agulan
  16. Soronandan

Sendangarum

  1. Daratan I/Lor
  2. Daratan II/Tegal
  3. Daratan III/Kidul
  4. Soromintan
  5. Toglengan
  6. Sanan
  7. Ngijon
  8. Singojayan
  9. Tinggen

Budaya Masyarakat

Khazanah budaya di wilayah Minggir cukup kaya. Berbagai bentuk baik berupa seni dan tradisi masih melekat dalam kehidupan masyarakat. Keindahan seni menjadi penghias di sela-sela kehidupan warga. Beberapa seni yang digeluti warga adalah tari, drama tradisional, musik tradisional, seni kriya, dan tembang jawa.

Seni tari tumbuh subur seiring dengan geliat kehidupan warga. Jathilan merupakan seni tari tradisional yang banyak diminati warga. Seni jathilan terdapat di desa Sendangagung, Sendangmulyo, dan Sendangrejo. Jathilan yang cukup dikenal masyarakat adalah jathilan dari Kedung Prau di Sendangrejo dan Turangga lawung yang terdapat di Sendangagung. Seni Jathilan klasik yang menggunakan lancur dengan barong terdapat di Dusun Nyolan yang masuk wilayah Sendangmulyo. Seni tari yang beraliran religius Islami adalah Seni Kuntulan dari Sendangagung dan Kobro dari Desa Sendangsari. Kekentalan unsur Islami terdapat pada lantunan tembang-tembang yang dibawakan.

Nenek Renta di Stasiun Bogor

Nenek Renta di Stasiun Bogor

Salah satu sudut Stasiun Bogor tampak ramai. Pukul delapan pagi, Sabtu, 28 Oktober 2017 langit tampak cerah. Celotehan beberapa orang terdengar riuh ikut mengisi kesibukan stasiun.  Sekitar delapan orang meriung di area dekat pembelian tiket. Sebagian orang berdiri mematung tanpa aktifitas turut memadati pintu masuk. “Silahkan geser sebelah sana,” terdengar pinta satpam dengan nada sopan. Beberapa orang acuh dengan himbuan tersebut.

Aku bergeser ke arah barat stasiun yang dibangun tahun 1872. Nenek tua kudapati sedang duduk.  “Minumanku tertinggal di kereta, rasanya leher ini kering,” ucap nenek di sebelah kananku. Raut wajahnya sudah berkeriput. Giginya tinggal satu di rahang atas. Urat-urat wajah mulai tampak mengendur.

Tangan kanannya memegang roti. Ia terus menyantap roti itu. Sembari makan ia terus berucap, “Sebenarnya saya sudah punya minum, tetapi tertinggal”. Ia mengajak berbicara dengan temanku seolah sudah akrab. “Nenek mau minum,” kata temanku. “Tidak usah!”jawab nenek dengan logat sunda. “Saya sudah punya minum tetapi tertinggal,”ucapnya berkali-kali. Tanpa menjawab temanku bergegas membeli minum.

Tak jauh dari tempat kami duduk terdapat mobil penjual minuman. Temanku menunjuk pada satu air mineral. Langsung ia membayar satu botol minuman. Ia segera kembali ke tempat nenek duduk. “Nek, ini minumnya ya!”kata temanku sambil menyerahkan botol itu. “Terima kasih’’ jawab nenek sambil menyahut botol minum.

Nenek tidak segera membuka minuman. Ia letakan botol di sebelah kiri tubuhnya. Mulutnya terus menyantap roti yang bungkusnya masih menempel di roti. Kini nenek mulai mendekatkan tubuhnya ke arahku.

Dengan mulut yang masih mengunyah roti nenek terus berbicara. Ia  mengisahkan perjalanan naik kereta. Nenek  mengantri untuk mengambil kembali uang jaminan kartu sampai lama. Turut berdesakankan dengan tubuh yang mulai tidak kuat. Terucap kata lelah dari tuturnya sambil menghela napas. Uang jaminan kartu sebesar sepuluh ribu rupiah pas untuk perjalanan naik angkot. Tidak lagi ada uang yang ada di dompetnya.

Nenek mengangkat kantung plastik berwarna putih. Ïini belajaan dari pasar,”ucapnya sambil berdiri. Jalannya tidak seimbang lagi. Tangan kirinya mengarah ke padaku. Kusambut tanganya. Aku bantu ia menuruni dua anak tangga. “Sendirian Nek”,”ucapku sambil terus memegangi tangan nenek. “Ya,!”ucapnya sambil berjalan meninggalkan stasiun yang dulunya bernama Butenzorg.

Aku berpikir jika uangnya kurang.  Kubuka dompetku dan kutarik satu lembar. “Ïni Nek, untuk tambah ongkos pulang.”ucapku. “Terima kasih,”ucapnya tanpa menengok. Ia terus berjalan dengan tubuh yang condong ke kiri. Kaki kirinya sudah tidak lurus lagi. Kupandangi jalannya mengarah ke barat. Sampai belokan baru aku balik ke tempat aku duduk tadi.

Kulihat teman yang ditunggu sudah datang. Segera kami berkumpul dalam rombongan. Kami meninggalkan Stasiun Bogor ke Kebun Raya Bogor. Dalam benakku masih terbayang wajah nenek yang kutemui tadi. Sayang aku tidak mengenal namanya.

Tujuh Tempat Misteri di Kecamatan Minggir

Tujuh Tempat Misteri di Kecamatan Minggir

Minggir adalah nama salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Sleman. Sesuai dengan namanya,  kata “Minggir” adalah sebuah tempat yang terletak di daerah pinggiran barat wilayah Kabupaten Sleman. Sebuah kecamatan yang menjadi salah satu lumbung padi di Yogyakarta. Dibalik suasana pedesaan yang damai dan asri, Kecamatan Minggir menyimpan beberapa tempat yang misterius. Berikut adalah tujuh tempat di wilayah Kecamatan Minggir yang menyimpan misteri.

1. Gunung Blimbingan

Penduduk di sekitar tempat ini menyebut dengan Gunung Blimbingan. Jika menyebut kata “gunung”  pasti orang akan berpikir bahwa tempat ini adalah sebuah gunung yang tinggi. Tidak sesuai dengan namanya, Gunung Blimbingan hanyalah gundukan tanah yang lebih tinggi dibanding wilayah yang lainnya. Disebut dengan nama bukit saja belum pas karena ukurannya belum memenuhi syarat sebagai bukit. Gunung ini terletak di ujung Dusun Blimbingan yang masuk dalam wilayah Desa Sendangmulyo Kecamatan Minggir.

Konon ditempat ini ditunggui oleh kyai yang akan semasa hidupnya mempunyai seperangkat gamelan Jawa. Menurut cerita yang dituturkan secara turun-temurun, secara gaib gamelan tersbut hilang bersama dengan sang empunya. Yang menjadi keanehan, warga yang akan meminjam gamelan dapat meminta izin kepada roh dengan melakukan ritual yang dilengkapi sajian. Ajaibnya gamelan sudah berada di rumah orang yang meminjam tanpa harus mengangkatnya. Hanya saja si peminjam harus menempatkan dan memperlakukan gamelan secara khusus. Sebelum gamelan dibunyikan harus dibungkus dengan kain putih untuk menjaga kesakralan.

Suatu saat ada warga yang meminjam seperangkat gamelan. Kisah yang berkembang, warga tersebut tidak mengembalikan salah satu gamelan yaitu gong. Secara mengejutkan gong yang dijual mengilang dan orang-orang percaya bahwa gong tersebut kembali kepada sang pemilik. Mulai saat itu, roh yang menunggu Gunung Blimbingan tidak berkenan untuk meminjamkan gamelan yang menjadi kesayangannya. Begitulah kisah misteri yang lambat laun sudah tidak dikenali oleh anak-anak generasi zaman sekarang.

2. Makam Ki Ageng Tunggul Wulung

Sebuah makam yang oleh masyarakat dikenal dengan makan Mbah Tunggul. Kisah secara singkat Ki Ageng Tunggul Wulung menceritakan bahwa beliau adalah Senopati  Sabdojati Among Rogo dari kerajaan Majapahit yang melarikan diri ke arah barat. Belaiau mendirikan pesanggrahan yang ada di daerah Mbeji yang sekarang menjadi Dusun Diro. Suatu saat beliau bersemedi di tepi Sungai Progo tepatnya di bawah pohon timo. Ki Ageng Tunggul Wulung beserta isteri dan tujuh orang pengikutnya serta Nyai Dakiyah akhirnya Mokswa (hilang beserta raganya). Demikian pula kelangenan yang berupa: Burung Perkutut, Burung Gemak, Macan Gembong, Macan Kumbang, Macan Putih, Nogo Ijo, Nogo Hitam, beserta Ayam Jago Wiring Kuning. Tempat Mokswanya Ki Ageng Tunggul Wulung tersebut kemudian atas saran seorang warga negara Belanda kepada Nyai Kriyoleksono supaya dibuatkan nisan seperti layaknya makam, dan difahami masyarakat banyak sebagai tempat yang wingit (mempunyai daya magis) sehingga banyak yang berziarah di makam tersebut. Makam Ki Ageng Tunggul Wulung berada di Dusun Dukuhan yang masih berada di wilayah Desa Sendangagung Minggir.

Sedangkan sejarah Tayuban adalah karena pada waktu itu ada seorang ledek (penari) bernama “Raden Nganten Sari Wanting” yang mempunyai niat mencari penglarisan melalui tirakat di komplek Makam Ki Ageng Tunggul Wulung. Akan tetapi kemudian ia hilang tidak diketahui rimbanya.Hal tersebut dianggap masyarakat sekitarnya bahwa Ki Ageng Tunggul Wulung menyukai ledek. Pada perkembangan selanjutnya setiap acara bersih dusun diadakan kenduri selamatan baik di makam maupun di rumah Juru Kunci. Dilanjutkan dengan tayuban dengan iringan Gendhing “Sekar Gadhung” dan sang ledek menari tanpa diibing karena dianggap yang ngibing adalah Ki Ageng Tunggul Wulung.

Menurut kesaksian seorang warga yang sering melakukan tirakat di makan Ki Ageng Tunggul Wulung, di temapt inilah banyak orang yang berkunjung untuk bersemedi. Tidak hanya nasyarakat sekitar tetapi juga orang-orang dari luar daerah  banyak bertirakat di makam Ki Ageng Tunggul Wulung.

Situs Makam Tunggul Wulung
Sumber gambar :https://https://jejakbocahilang.wordpress.com

3. Pohon Asem di Dusun Ngaranan

Di Dusun  Pranan yang terletak di wilayah Desa Sendangmulyo terdapat sebuah pohon asem yang besar. Disinyalir pohon ini sudah berumur selama ratusan tahun. Dilihat dari fisiknya pohon ini adalah pohon yang tertua di wilayah kecamatan Minggir. pohon yang tumbuh menjulang tinggi ini sangat dijaga kelesatriannya oleh masyarakat Dusun Pranan. Bahkan Pohon ini sangat dikeramatkan oleh penduduk di sekitarnya.

Bukanlah pohon angker yang perlu ditakuti, penduduk yang hidup di sekitar pohon tidak merasakan adanya hal yang menakutkan dari pohon ini. Hanyalah petuah orang tua yang mampu menggugah niat warga untuk tetap menjaga pohon yang sudah berumur ratusan tahun ini.

Pohon Asem Pranan
Sumber gambar : barnabassutrisno.wordpress.com

4. Sendang Penjalin

Sendang Penjalin adalah sebuah mata air yang berada di Dusun Jonggrangan yang masuk di wilayah Sendangrejo. Menurut kisah yang berkembang di masyarakat sekitar sedang ada tiga versi terjadinya Sendang Penjalin. Versi pertama dikisahkan bahwa daerah ini dulunya berupa hutan yang ditumbuhi rotan (penjalin). Hutan rotan terjadi karena ada seorang yang sangat sakti bernama Kyai Modang yang menggembara sampai di daerah ini. Dalam pengembaraannya, Kyai Modang mencari sumber mata air yang dapat diminum untuk melepas kedahagaannya. Kemudian Kyai Modang menancapkan tongkatnya yang terbuat dari rotan dan keluarlah sumber mata air yang sangat banyak mengeluarkan air. Karena sendang atau sumber air terjadi karena berasal dari tancapan rotan atau orang jawa menyebutnya penjalin maka sendang tersebut diberi nama Sendang Penjalin.

Versi kedua mengisahkan bahwa Sendang Penjalin terjadi karena suatu ketika perjalanan Sunan Kalijaga sampai di tempat ini. Pada saat mau berwudhu tidak ada air. Maka Sunan Kalijaga menancapkan tongkat yang terbuat dari rotan (penjalin) dan keluarlah air yang melimpah dari bekas tancapan penjalin. Oleh karena itu sumber air atau sendang diberi nama Sendang Penjalin.

Versi ketiga menyebutkan bahwa dulu ada seorang raja yang bernama Sunan Katong mengembara sampai tempat ini.  Sunan Katong adalah raja yang masih berkerabat dengan raja-raja di Demak. Rupanya perjalanan Sunan Katong dicegat oleh para begal dan kecu. Terjadilah perkelahian antara pengikut Sunan Katong dengan para begal. Senjata Sunan Katong berupa cambuk yang terbuat dari jalinan penjalin dapat direbut oleh para begal dan dibuang dekat dengan sebuah mata air. Rotan yang dibuang tumbuh dan berkembang biak menjadi sebuah hutan rotan atau penjalin. Maka sumber mata air di dekat hutan rotan tersebut dinamakan Sendang Penjalin.

Berkaitan dari kisah keberadaanya, tempat ini dianggap tempat yang wingit oleh masyarakat sekitar. Tempat ini dulunya banyak dikunjungi oleh masyarakat pada malem selikuran di bulan Ruwah menurut penganggalan Jawa. Masyarakat berbondong-bondong dengan membawa obor atau orang Jawa mengenal dengan sebutan “oncor”. bagi masyarakat yang menggeluti kebatinan tempat ini merupakan salah satu tempat untuk bertirakat.

5. Makam Curah

Makam curah terletak di dusun Kliran X yang  masuk dalam wilayah Desa Sendangagung. Tidak  seperti kuburan yang lain di tempat ini tidak ada tokoh cikal bakal yang dikuburkan di tempat ini. Masyarakat Kliran mengenal dengan sebutan “Kuburan Gede”. Asal mula disebut sebagai kuburan gede karena ditempat ini pada awalnya dipergunakan sebagai tempat pemakaman “Bekel”yang pada zaman dahulu adalah para pegawai kelurahan.

Kisah mistik yang ikut menjadi buah bibir warga adalah kejadian-kejadian yang mampu membuat berdiri bulu roma. Di sekitar kuburan terdapat daerah perkebunan. Suatu hari seorang warga yang sedang bekerja di kebun, melihat orang yang mencangkul di dekat makam. Setelah dilihat dengan seksama orang yang tadinya mencangkul hilang lenyap. Pada siang hari saja banyak kejadian yang cukup membuat bulu merinding apalagi pada malam hari, jika tidak bernyali orang akan berpikir ulang untuk  melewati daerah tersebut.

Di sebelah barat makam terdapat air terjun kecil yang dikenal dengan “Grojogan Curah”. di Air terjun tersebut yang ujungnya bertemu dengan aliran Sungai Progo juga merupakan tempat yang mistis. Salah seorang warga Dusun Kliran yang bernama Sumowikarto pernah melakukan bertapa selama empat puluh hari empat puluh malam. Ada tiga godaan yang dihadapi dalam semedi. Godaan pertama dan kedua bisa dihadapi dengan keyakinan yang teguh. Menjelang hari keempat puluh, godaan ketiga datang. Menurut kesaksian Sumowikarto, godaan yang ketika mampu menggagalkan pertapaanya. Kisahnya seorang wanita yang berparas cantik dan bertubuh elok mampu mengurungkan pertapaan yang sudah dijalani selama tiga puluh sembilan hari.

6. Jembatan Gandri

Jembatan Gandri terletak di Jalan Raya Ngapak, tepatnya berada di sebelah timur Dusun Klepu Sendangrejo. Cerita yang pernah terdengar terdapat sebuah kejadian aneh di sawah di sekitar Jembatan Gandri. Pada zaman dulu orang yang menggarap sawah dengan bajak harus melakukan ritual khusus. Ritual yang dilakukan adalah orang yang membajak di sawah tersebut harus menggunakan busana adat Jawa yang lengkap. Yang membuat lebih ganjil lagi adalah sawah yang dibajak dengan menggunakan busana Jawa hanya beberapa petak saja. Kini cerita itu tinggal kenangan yang tidak setiap orang pun pernah mendengar cerita tersebut. Pengolahan sawah sudah dikerjakan dengan tenaga mesin dan sudah meninggalkan ritual menggarap sawah dengan busana Jawa.

7. Jalan Antara Puskesmas Minggir sampai Lapangan Kebonagung

Berulangkali terjadi kecelaan yang berujung maut di sepanjang jalan antara Puskesmas Minggir sampai lapangan kebonagung. banyk sudah korban yang meninggal karena terjadi kecelakaan di daerah ini. Apakah karena ini disebabkan oleh mitos atau karena kurang kehati-hatian manusia dalam berkendara. Lebih dari lima orang meregang nyawa karena sedang menggunakan jalan ini. Kecelakaan ini terjadi setelah pemerintah membangun jalan ini sehingga menjadi halus. Mungkin saja faktor jalan yang halus ini yang membuat orang ngebut. tapi anehnya banyak juga di daerah Minggir yang jalannya halus dan lurus namun yang sering terjadi kecelakaan adalah jalanan di sekitar Puskesmas Minggir. Semoga tidak terjadi kecelakaan yang dapat menghilangkan nyawa orang lain.

 

Sepenggal Kisah yang Tersembunyi dari Loji Kebonagung

loji

Loji

Loji yang nampak megah pada zamannya masih berbekas  sampai sekarang. Kemegahan itu terlihat dari dari kekokohan bangunannya. Jika memandang dari bagunannya, maka secara cepat orang akan mengingat keberadaan masa kolonial di deaerah ini. Jika dilihat dari beberapa cacatan yang menarasikan bangunan ini, maka dapat dipastikan bahwa bangunan ini tidak lepas dari keberadaan Kolonial Belanda. Tidak sedikit juga orang yang tertarik akan historis dari keberadaan loji ini.

Lepas dari cerita sejarah atas keberadaan loji ini, terdapat satu cerita yang tidak banyak diketahui orang. Mungkin saja yang tahu hanya penuturnya sendiri. Beruntunglah cerita ini masih ada yang merekam dalam memori meskipun tidak seutuh cerita aslinya. Terdapat intrik kekuasaan, perebutan warisan, dan skandal yang selalu mewarnai sejarah panjang kehidupan manusia. Dalam cerita ini tidak disebutkan nama tokoh karena penutur menghindari salah paham bagi penerusnya.

Kisah ini diawali dari salah satu warga di Dusun Minggir II yang sering sakit-sakitan. Dalam jangka waktu yang cukup lama mereka selalu berganti-gantian didera sakit. Sang ayah sembuh maka ganti ibu yang sakit. Ibu sembuh giliran anak pertama yang sakit. Begitu terus berulang-ulang sehingga menimbulkan tanda tanya yang besar di antara tetangganya. Yang semakin membuat penasaran adalah sakit yang diderita tidak wajar. Keadaan inilah yang membuat hati tak tentram bagi keluarga tersebut.

Rasa penasaran yang sangat besar membuat sang ayah pergi ke salah salah satu dukun atau paranormal di dusun tersebut. Sang paranormal mengeluarkan kemampuannya dengan tujuan membantu memecahkan teka-teki yang selama ini mengganggu kehidupan salah satu warga. Dengan kemampuan spiritual yang mumpuni Simbah Dukun berhasil memecahkan misteri besar. Ternyata di pekarangan tersebut ditanami banyak sekali rajah. Sejenis mantera yang tertulis di kain kemudian ditanam di sudut-sudut pekarangan. Tujuan penanaman rajah untuk membuat penghuninya sakit dan tidak betah tinggal di pekarangan tersebut. Mengapa tempat tersebut ditanami rajah? Itulah pertanyaan yang mengawali cerita.

Dengan mata menerawang jauh Mbah Dukun mulai menuturkan cerita. Dulu sekitar tahun 1930-an, pekarangan ini ditempati oleh dua keluarga yang kebetulan kepala keluarganya kakak beradik. Seperti layaknya orang dusun mereka hidup sebagai petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil sawah. Kehidupan dua keluarga ini tampak rukun. Sang kakak dikaruniai dua puteri, sedangkan sang adik mempunyai anak semata wayang. Guyup rukun dan saling membantu mewarnai kehidupan setiap harinya.

Badai kehidupan mulai menggoyang ketika sang kakak ingin menguasai pekarangan si adik. Sikap sang kakak inilah yang menjadi pemicu putusnya tali silahturahmi keluarga. Awalnya kehidupan yang harmonis menjadi bungkam tanpa kata tegur sapa. Saling menjelekan dan fitnah selalu menjadi santapan bagi warga sekitarnya.

Singkat cerita, sang kakak berkeinginan besar untuk memiliki pekarangan milik adiknya. Salah satu jalan adalah membujuk penguasa Belanda yang berkantor di loji. Penguasa yang pada waktu itu berwenang membuat surat kepemilikan tanah. Awalnya pihak loji menolak untuk membuat surat kepemilikan tanah atas nama sang kakak. Pihak loji tidak punya alasan yang sah untuk memindah tangankan kepemilikan tanah. Mata hati sudah buta, sang kakak menghalalkan segala cara. Dua putrinya disodorkan ke sang penguasa loji. Bak gayung bersambut, penguasa loji menerima durian runtuh yang dihidangkan. Di loji inilah saban malam terjadi skandal yang sangat menodai kehormatan wanita. Semua orang tahu, namun bungkam seribu kata. Ketakutan dapat membungkam hati nurani warga. Di situlah kata “lumrah” menjadi pembetulan dari tindakan yang nista.

Usaha untuk menyodorkan anaknya berhasil. Surat kepemilikan tanah keluar dan diteken oleh penguasa. Si adik tak berkutik untuk mempertahankan tanah warisan leluhurnya. Takut pada penguasa menjadi alasan utama untuk mengambil sikap mengalah.  Namun, si adik tidak tinggal diam. Dia mencari orang yang membuat rajah. Ditanamlah rajah di setiap sudut pekarangan tanpa ada yang ketinggalan. Sambil menghela napas Mbah Dukun berkata, “Itulah alasan kenapa tanah ini ditanami rajah.” Setelah si adik pergi pekarangan ini dikuasai oleh sang kakak. Namun, kekuatan rajah membuat sang kakak tidak kuat menempatinya. Dijualah tanah pekarangan ini. Mbah Dukun menegaskan ceritanya, “Waktu itu yang membeli tanah adalah orang tuamu. Orang tuamu tidak mengetahui bahwa tanah ini ditanami rajah”

Di akhir ceritanya Mbah Dukun mengingatkan kepada semua yang mendengar cerita. “Di loji itu telah terjadi sebuah peristiwa yang orang jarang mengetahuinya. Bangunan itu menyimpan banyak kisah. Salah satu kisahnya seorang ayah rela mengorbankan kehormatan anaknya untuk menguasai sejengkal tanah. Terdengar nista memang, tetapi ketika sifat angkara dan ingin menguasai hak orang lain, terkadang hati menjadi buta. Padahal mata hatilah yang harus tajam, meskipun mata fisik tidak dapat melihatnya.”

Dusun Jomboran Sendangagung Minggir

DUSUN JOMBORAN

Dusun Jomboran

Pintu Masuk Dusun Jomboran

Suasana dusun yang berada di penghujung selatan Sendangagung ini masih tampak hijau nan asri. Sawah hijau tampak menghampar berdampingan dengan dusun yang tenteram dan damai. Kehidupan masyarakat yang bersahaja sebagaimana kesederhanaan masyarakat pedesaan. Di pintu masuk dusun terdapat bangunan kecil yang terawat baik. Bangunan tersebut adalah gardu jaga peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda. Keterawatan gardu menandakan bahwa masyarakat dusun sangat menghormati sejarah para pendahulunya.

Asal-usul Nama Jomboran

Pada awalnya daerah ini merupakan hutan belantara yang ditumbuhi berbagai macam tumbuhan besar. Seorang pengembara yang dikenal dengan nama Mbah Jombor beserta kerabatnya sampai di tempat ini. Mbah Jombor dibantu oleh kerabatnya membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal. Mbah Jombor juga membuka hutan untuk bercocok tanam. Lama-kelamaan daerah yang mulanya hutan berubah menjadi tempat pemukiman.

Mbah Jombor menetap di daerah ini sampai akhir hayatnya. Anak dan cucu Mbah Jombor bertambah banyak sehingga daerah tempat tinggal bertambah luas. Akhirnya daerah ini menjadi sebuah dusun yang penduduknya cukup banyak. Jika orang dari daerah lain ingin ke tempat ini selalu mengatakan “Jombor” meskipun Mbah Jombor sudah meninggal dunia. Lama-kelamaan kata “Jombor” menjadi biasa dan akhirnya daerah ini diberi nama Jomboran. Untuk menghormati Mbah Jombor, makamnya dirawat dengan baik oleh warga Dusun Jomboran.

Letak Geografis

Dusun Jomboran terdiri dari wilayah yaitu Dusun Jomboran, Tegalsari, dan Kisik Jomboran.  Dusun Jomboran terletak di daerah dataran rendah yang terdiri dari pemukiman dan area persawahan. Sedangkan Kisik Jomboran terletak di lembah Sungai Progo yang lebih rendah dibanding wilayah Jomboran dan Tegalsari.  Untuk menjangkau wilayah Kisik terdapat jalan menurun dari Jomboran. Letaknya yang berada di dekat sungai Progo menjadikan daerah ini sunyi jauh dari kebisingan kendaraan bermotor.

Dusun Jomboran berjarak sekitar 2,9 kilometer dari kantor Kepala Desa Sendangagung dan 3 kilometer dari kantor Kecamatan Minggir. Luas Padukuhan Jomboran 24,8 hektar yang terdiri dari area pekarangan seluas 15,3 hektar, area tegalan seluas 3,2 hektar,dan lahan pertanian seluas 6,3 hektar.

Batas-batas wilayah Dusun Jomboran berupa dusun yang lain di wilayah Sendangagung dan Sendangmulyo, sungai  dan persawahan. Batas-batas wilayah Dusun Jomboran adalah :

  1. Timur    : Dusun Menyolan (wilayah desa Sendangmulyo)
  2. Selatan : Sungai Progo
  3. Barat     : Sungai Progo
  4. Utara     : Dusun Nanggulan

Jomboran

Panorama sawah di Dusun Jomboran

Kependudukan dan Pembagian Wilayah

Jumlah penduduk Dusun Jomboran menurut pendataan pada tahun  2016 adalah  201 jiwa penduduk laki-laki dan 206 jiwa penduduk perempuan. Total jumlah penduduk kring 15 adalah 407 jiwa.  Jika dikelompokkan menurut usia maka dapat dibedakan dalam kelompok:

  1. Pelajar                        :    68 jiwa
  2. Usia Usia produktif :  206 jiwa
  3. Usia lanjut                 :   68 jiwa.

Dusun Jomboran dibagi menjadi dari dua Rukun Warga yaitu RW 33 dan RW 34. Wilayah dusun ini terdiri dari empat Rukun Tetangga. Masing-masing RW terdiri dari beberapa RT. Berikut pembagian wilayah pembagian RT :

  1. RW 33 terdiri dari RT 01 dan RT 02
  2. RW 34 terdiri dari RT 03 dan RT 04

Dalam perjalanan pemerintahan tingkat dusun, Jomboran pernah mengalami tiga kali pergantian kepala dusun.  Berikut ini adalah Dukuh yang  menjabat di Dusun Jomboran :

  1. Wignyo Sucipto
  2. Wagiyo Karjo Maryoto
  3. Sugiyono ( 2012 sampai sekarang)

Kisik

Daerah Kisik yang menjadi wilayah Jomboran

Program-program Dusun

Dalam menjalankan tugasnya, dukuh dan warga Jomboran mempunyai program-program yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan warganya. Program-program tersebut adalah :

  1. Pembangunan Infrastruktur : Pembangunan infrasruktur dusun meliputi pembangunan  jalan beraspal dan cor blok, pembuatan talud,  bronjong pengaman tebing, perbaikan rumah ibadat, dan perbaikan rumah tidak layak huni.
  1. Pembangunan Ekonomi : Pembangunan ekonomi warga akan dilakukan pembentukan usaha tani yang menekankan pada kesejahteraan anggotannya.
  1. Pembangunan Sumber Daya Manusia : Di bidang sumber daya manusia akan mengoptimalkan kegiatan Posyandu dan pelatihan keterampilan bagi warga.

Kegiatan Ekonomi.

Mata pencaharian warga Dusun Jomboran bervariasi. Profesi yang digeluti warga adalah sebagai pedagang, petani, buruh tani, pensiunan pegawai negeri dan TNI/Polri, serta usaha di bidang swasta. Sebagaian besar warga bekerja sebagai petani. Kegiatan pertanian di dusun ini sangat baik karena didukung oleh irigasi yang cukup memadai. Dalam setahun petani dapat melakukan tiga kali panen. Kadang kala petani harus menanggung gagal panen karena serangan hama tikus dan wereng.

Para  petani biasanya akan banyak kesibukan pada musim tanam dan panen. Untuk mengisi kesibukan, selain bertani masyarakat memanfaatkan waktu luang dengan membuat kerajinan. Kerajinan yang banyak diminati adalah anyaman besek. Selain bahan mudah baku berupa bambu yang mudah didapat, pemasaran besek sangat mudah. Pengrajin tidak perlu pergi ke pasar untuk menjual produknya, para pengumpul besek sudah berkeliling kampung untuk  menampung besek.

Jenis kerajinan lain yang banyak digeluti warga adalah anyaman tikar. Pada umumnya para penganyam adalah kaum perempuan. Jarang sekali para laki-laki yang menekuni anyaman tikar. Selain rumit, dibutuhkan kesabaran yang tinggi mengingat bahan dasar mendong ini mudah patah jika cuaca cukup panas. Hasil kerajinan tikar dijual ke Pasar Kebonagung setiap pasaran Pon dan Kliwon. Anyaman tikar dari daerah Sendangagung dikenal luas ke berbagai  daerah. Pada era tahun 1960-1980  hasil kerajinan tikar dipasarkan sampai ke daerah Banyumas, Jawa Tengah.

Catatan tentang Dusun Jomboran – Tegalsari

Setelah Indonesia merdeka Agresi Militer Belanda masih terus dilancarkan. Hal ini mendapatkan perlawanan dari rakyat dan Tentara Rakyat Indonesia. Dalam perlawanan tersebut banyak korban jiwa yang berjatuhan. Salah satu warga  yang meninggal bernama Boas. Atas perjuangan Boas yang turut mempertahankan kemerdekaan, maka pemerintah Indonesia menganugerahi tanda pejuang di makamnya. Di makam Boas diberi tanda bendera merah putih dan bertuliskan pejuang sebagai tanda penghormatan terhadap jasa Boas.

Dusun yang terletak di pinggiran Sungai Progo ini mempunyai panorama yang indah.  Pemandangan yang indah sebuah alam pedesaan dengan berlatar perbukitan Menoreh. Keindahan pemandangan ini merupakan potensi yang cukup baik untuk dikembangkannya wisata di Dusun Jomboran. Potensi wisata ini perlu penanganan khusus untuk mengembangkannya.

Harapan Warga 

Dalam bidang pembangunan infrastruktur, warga Dusun Jomboran mengharapkan agar pemerintah desa memperhatikan pembangunan berbagai fasilitas yang menunjang kegiatan perekonomian. Di samping pembangunan fisik pemerintah melalui dinas terkait memperhatikan pendidikan dan karakter generasi muda. Secara karakter pemuda  di masa yang akan datang tanggap dan tangguh serta tidak tertinggal dalam perkembangan teknologi.

Warga dusun juga mengharapkan agar pemerintah memperhatikan keberadaan tempat ibadat yang ada di dusun ini. Di Jomboran terdapat tiga tempat ibadah yaitu Gereja Kristen Kerasulan Baru, masjid, dan musholla. Warga dan pamong mengharapkan agar pemerintah memperhatikan keberadaan tempat ibadat. Tempat ibadat perlu sarana seperti kipas angin untuk menciptakan suasana dalam tempat ibadah terasa nyaman. Hal ini akan meningkatkan kualistas dalam hal religiusitas warga.

Sumber: Sugiyono (Dukuh Jomboran)

Dusun Nanggulan Sendangagung Minggir

DUSUN NANGGULAN

Nanggulan

Jalan menuju ke Dusun Nanggulan

Suara burung kadang masih membelah kesunyian di pagi hari. Terdengar juga suara ayam jantan turut menyambut datangnya sang mentari. Hawa dingin turut menyemarakan suasana di pagi hari.

Itulah sekelumit gambaran susana Dusun Nanggulan yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yoggyakarta. Di dusun yang sunyi ini pernah  menjadi lokasi pendidikan sekolah polisi darurat paska kemerdekaan. Rumah yang menjadi lokasi adalah milik keluarga R. Brodjo Setjo. Pernah pemerintah bermaksud menghadiahkan bangunan berupa monumen, yang akan dibangun di Nanggulan, tetapi demi kemanfaatan yang lebih luas, maka bangunan itu kemudian diwujudkan menjadi Gedung Serbaguna dan dibangun di komplek Balai Desa Sendangagung.

Asal-usul Nama Nanggulan

Berdasarkan penuturan para tetua di wilayah Nanggulan, nama dusun berasal dari cerita yang dituturkan secara turun-temurun. Dikisahkan ketika zaman surutnya kerajaan Majapahit, para hulu balang dan prajurit banyak yang melarikan diri ke wilayah barat. Perjalanan ke wilayah barat dipimpin oleh Kyai Tunggul Wulung.  Kyai Tunggul Wulung diringi oleh tiga kerabatnya yaitu Kyai Kelir, Kyai Nanggul, dan Nyai Grunggung. Sampailah rombongan di daerah Diro yang sekarang masuk wilayah Sendangmulyo. Kyai Tunggul Wulung tinggal di Diro sedangkan Kyai Kelir berdiam di Kliran, dan Nyai Grunggung di Tengahan.

Kyai Nanggul  mendiami daerah yang asri di tepi sungai Progo. Daerah tersebut berada di sebelah barat Diro yang menjadi pusat daerah perdikan di kala itu. Kyai Nanggul bercocok tanam dan berdiam di tempat baru sampai beliau wafat. Sebagai penghormatan kepada Kyai Nanggul, tempat ini diberi nama Nanggulan. Kyai Nanggul dikebumikan di makam umum yang letaknya di penghujung dusun bagian utara. Sebelum masa kemerdekaan Nanggulan adalah sebuah wilayah kalurahan yang meliputi wilayah Tengahan, Dukuhan, Sawo, Nanggulan, Tegalsari, dan Jomboran. Kini Nanggulan menjadi salah satu wilayah dusun di Desa Sendangagung.

Makam

Makam Jaha tempat Kyai Nanggul disemayamkan

Kondisi Geografis

Wilayah Dusun Nanggulan terdiri dari area pemukiman, persawahan, tegalan, dan bibir tanah miring di tepi sungai Progo. Dusun Nanggulan seolah terbagi dua yaitu bagian timur dan bagian barat dengan jalan sebagai pembatas. Tanah persawahan sangat cocok ditanami berbagai jenis padi. Sepanjang tahun pertanian tidak akan berhenti karena cadangan air yang cukup untuk kegiatan pertanian.

Jika diukur dari atas permukaan laut, kira-kira ketinggian daerah ini sekitar 150 meter. Daerah yang termasuk dataran rendah dan di bagian barat padukuhan terdapat Sungai Progo yang menjadi salah satu batas dusun. Dari kantor Kecamatan Minggir kira-kira berjarak sekitar 1 km.

Batas dusun berupa sawah, sungai, dan wilayah dusun lain. Berikut batas-batas Dusun Nanggulan :

  1. Timur : Desa Sendangmulyo
  2. Selatan : Dusun Jomboran
  3. Barat : Sungai Progo
  4. Utara : Dusun Dukuhan

SD Sendangagung

SD Sendangagung terletak di Dusun Nanggulan

Kependudukan dan Pembagian Wilayah

Data yang diambil pada tahun 2016 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Dusun Nanggulan sebanyak 650 jiwa yang terdiri dari 314 penduduk laki-laki dan 336 penduduk perempuan. Menurut golongan usia penduduk dikelompokan dalam :

  1. Pelajar                     :   58 jiwa
  2. Mahasiswa             :   16 jiwa
  3. Usia produktif       :   72 jiwa
  4. Usia lanjut              : 105 jiwa

Dusun Nanggulan dibagi menjadi dari tiga Rukun Warga yaitu RW 30, RW 31, dan RW 32. Pembagian wilayah RW yang ada di Dusun Nanggulan berdasarkan wilayah yang ada di padukuhan ini. Berikut RW yang ada di Dusun Nanggulan :

  1. RW 30 terdiri dari RT 01 dan 02
  2. RW 31 terdiri dari RT 03 dan 04
  3. RW 32 terdiri dari RT 05 dan 06

Roda pemerintahan di Dusun Nanggulan menjadi tanggung jawab dukuh. Dukuh bertanggung jawab terhadap rakyat yang memilihnya dan Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan di jajajaran pemerintah yang lebih atas. Di Dusun Nanggulan baru terjadi dua kali pergantian dukuh. Tidak seperti dusun lain yang sudah lebih dari dua kali pergantian. Dukuh yang pernah menjabat dan sekarang yang menjabat di Nanggulan adalah :

  1. Suyid
  2. Susardi (sekarang menjabat)

Program-program Dusun

Program Dusun adalah landasan yang digunakan warga Nanggulan dalam membangun dusun. Program tersebut dibagi menjadi tiga yaitu program jangka pendek, program jangka menegah, dan program jangka panjang.

  1. Program jangka pendek : Pengaspalan jalan
  1. Program jangka menengah : Pembangunan talud jalan
  1. Program jangka panjang : Pembangunan drainase

Kegiatan Ekonomi

Petani merupakan pekerjaan utama bagi warga Dusun Nanggulan. Pekerjaan yang ditekuni secara turun-temurun. Petani di Nanggulan banyak membudidayakan tanaman padi. Jenis padi yang di tanam rata-rata berumur  3-4 bulan. Adapula warga yang menekuni pertanian di pekarangan dan ladang. Jenis tanaman yang cocok ditanam di ladang adalah singkong dan jagung.

Di sela-sela kesibukan, salah satu kegiatan yang bernilai ekonomi adalah membuat kerajinan. Jenis kerajinan yang ditekuni adalah besek dan tikar mendong. Sayang sekali kedua jenis kerajinan tersebut sudah kalah dengan produk pabrik yang berbahan dasar plastik. Di tengah membanjirnya produk berbahan dasar plastik, warga Nanggulan masih menekuni kerajinan berbahan dasar bambu dan mendong meskipun nilai jualnya murah.

Beberapa warga berusaha dalam bidang makanan ringan. Produk makanan yang sudah dapat dipasarkan di beberapa pasar tradisional dan warung adalah tempe dan peyek. Tempe yang berbahan dasar kedelai merupakan khas bagi warga pedesaan. Tempe hasil dari warga Nanggulan dijual di Pasar Kebonagung. Peyek khas Nanggulan sudah mengalami pembaharuan dalam hal kemasan sesuai selera pasar.

Serba-serbi Dusun Nanggulan

Dusun Nanggulan mempunyai jasa yang besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jasa ini tidak hanya dipandang sebelah mata saja, namun semangat pengorbanan juga ditunjukan oleh warganya. Dusun ini pernah menjadi lokasi pendidikan sekolah polisi darurat pada masa setelah kemerdekaan. Warga menyediakan diri sukarela untuk memberikan tempatnya sebagai tempat sekolah polisi.

Sekolah polisi pertama kali didirikan di Sukabumi, Jawa Barat. Pada tahun 1946 sekolah polisi pindah ke Mertoyudan yang termasuk wilayah Magelang, Jawa Tengah. Pada waktu sekolah polisi digempur oleh Belanda, maka sekolah kepolisian pindah ke bangunan susteran di Jalan Senopati Yogyakarta. Kota Yogyakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia diserang oleh Belanda, sekolah kepolisian pindah ke daerah pedesaan tepatnya di Nanggulan.

Selain berjasa bagi perjuangan bangsa, di wilayah Nanggulan digunakan sebagai tempat  untuk parade paralayang. Parade paralayang diselenggarakan di sekitar Sungai Progo yang masuk ke dalam wilayah Nanggulan. Parade ini merupakan potensi wisata di daerah Nanggulan. Perlu keseriusan untuk mengadakan parade secara berkala sehingga menjadi daya pikat bagi orang yang akan berkunjung ke Nanggulan.

Harapan Warga Nanggulan

Harapan warga Nanggulan kepada pemerintah Desa Sendangagung yakni supaya Desa Sendangagung semakin maju dan berkembang baik dalam pembangunan infrastruktur. Pemerintah desa juga semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tiap-tiap dusun.

Sumber: Susardi (Dukuh Nanggulan)

Previous Older Entries